Minggu, 01 Januari 2012

TES SIDIK JARI (CERMATI, SEBELUM MENGIKUTI)

Sebagai seorang pendidik di sebuah sekolah, banyak lembaga yang menawarkan berbagai program untuk mengetahui potensi, karakter, sampai bakat dan cara belajar anak dengan instan. Salah satunya dengan Tes Sidik Jari atau Finger Printing. Jujur, saya pribadi Ragu. Mungkinkah kita bisa mengetahui hal di atas secepat itu, hanya dengan mencetak hasil scan sidik jari anak, sedang saya saja harus membaca bertumpuk-tumpuk buku, mengikuti berbagai pelatihan, dan observasi langsung untuk dapat mengetahui potensi dan karakter seorang anak serta bagaimana cara menghadapinya. Alhamdulillah, setelah searching2, ketemu juga artikel ini, yang ditulis oleh pakarnya. Selamat membaca, semoga bermanfaat…
SIDIK JARI
Sarlito Wirawan Sarwono
Setelah kasus Otak Tengah, yang akhir-akhir ini sering ditanyakan kepada saya adalah tentang Test Sidik Jari untuk mengetahui kepribadian anak. Saya sendiri yang sudah 43 tahun malang-melintang di dunia psikologi, belum pernah tahu sebelumnya tentang keberadaan test tersebut dan tidak mau ambil pusing. Paling-paling penipuan lagi, pikir saya.
Tetapi beberapa hari yang lalu, anak saya yang kebetulan juga psikolog, berceritera kepada saya bahwa dia diajak temannya (baca: dikejar-kejar) temannya untuk bergabung dengan usaha dia dalam usaha test Sidik Jari. Lumayan, kata temannya itu. Captive market-nya ibu-ibu yang punya anak kecil, dan sekolah-sekolah, dan biayanya Rp 500.000,-per anak.
Sebagai psikolog professional anak saya meragukan validitas dan reliabilitas (keabsahan dan kesahihan) test itu. Apalagi dengan job dan statusnya yang sudah mapan dan gajinya yang sudah berlipat-lipat di atas UMR, dia tidak mau ambil risiko, karena itu ia minta pendapat saya.
Saya langsung saja menyatakan bahwa saya pun tidak percaya, tetapi saya penasaran. Maka saya pun browsing semua jurnal Psikologi (hampir seluruh dunia yang berbahasa Inggris) yang bisa diakses oleh mesin searcher dari Asosiasi Psikologi Amerika (APA) dimana saya menjadi salah satu anggotanya.
Hasilnya menakjubkan, sekitar 40.000 tulisan yang mengandung kata “finger print”. Langsung saya cari judul-judul yang kira-kira terkait dengan sidik jari dalam hubungannya dengan bakat, kepribadian, atau kecerdasan anak. Hasilnya: NIHIL!
Sedangkan kalau saya gunakan kata kunci Dermatoglyphic (Dermato artinya kulit, Glyphs artinya ukiran, jadi kulit yang berukiran) ada satu keluaran, yaitu tulisan berjudul “Neurodevelopmental Interactions Conferring Risk for Schizophrenia: A Study of Dermatoglyphic Markers in Patients and Relatives”, oleh
Avila, Matthew T.; Sherr, Jay; Valentine, Leanne E.; Blaxton, Teresa A.; Thaker, Gunvant K. dalam Schizophrenia Bulletin, Vol 29(3), 2003, halaman 595-605. Jadi tulisan yang satu ini pun hanya tentang hubungan antara gejala sakit jiwa skhizoprenia (yang dipercaya merupakan penyakit turunan) dengan pola sidik jari (yang juga merupakan bawaan),
Sebaliknya, dari Google saya mendapat banyak sekali keluaran setelah memasukkan kata kunci “sidik jari”. Bahkan ada website-nya sendiri. Hampir semuanya berceritera tentang ke-ilmiahan metode analisis kepribadian dengan test Sidik Jari ini. Bahkan ada iklan promo yang menawarkan test Sidik jari “hanya” untuk Rp 375.000 per anak. Sisanya adalah testimoni dari orang-orang yang pernah mencoba test yang katanya pelaksanaannya sangat mudah. Sedangkan salah satu kalimat promosi mereka adalah bahwa “Analisa sidik jari memiliki tingkat akurasi lebih tinggi daripada metode pengukuran lain. Klaim akurasi 87%”.
Luar biasa kalau test itu benar. Kalau seorang ibu sudah mengetahui seluruh “rahasia” kepribadian anaknya melalui sidik jari anak, maka dia tinggal ongkang-ongkang kaki dan dia hanya perlu mengatur anaknya sesuai dengan petunjuk hasil test Sidik Jari, dan anaknya akan menjadi orang yang pandai, jujur, kreatif, berbakti pada orangtua, beriman, bertakwa, saleh/salehah. Lebih senang lagi anggota Densus88. Tidak perlu berpayah-payah lagi mereka. Cukup dengan memeriksa sidik jari, mereka bisa mengidentifikasi pembom bunuh diri menangkapnya dan memasukkannya ke penjara.
Tetapi faktanya kan tidak seperti itu. Upaya manusia untuk mempelajari jiwa sudah berawal sejak zaman Socrates, 400 thn sebelum Masehi, dan melalui perjalanan sejarah yang panjang sekali, serta mendapat masukan dari berbagai ilmu, termasuk ilmu faal dan kedokteran, serta matematika, Wilhelm Wundt baru menyatakan Psikologi sebagai Ilmu yang mandiri pada tahun 1879 di Leipzig, Jerman (versi Amerika oleh William James, di sekitar tahun yang sama di Universitas Harvard).
Pasca kelahirannya, Psikologi berkembang terus, termasuk mengupayakan berbagai teknik dan metode untuk mengukur berbagai aspek kepribadian, termasuk test IQ, minat, sikap, bakat, emosi dan seterusnya. Kemajuannya sangat langkah-demi-langkah, tidak ada yang langsung meloncat, dan sebagaimana ilmu pengetahuan lainnya, setiap kemajuan, temuan atau kritik selalu dilaporkan dalam jurnal-jurnal dan seminar-seminar psikologi seluruh dunia. Karena itulah maka langkah pertama saya adalah mengecek jurnal ilmiah Psikologi untuk memastikan apakah test Sidik Jari ini termasuk metode yang diakui dalam Psikologi atau tidak.
Di sisi lain, teknik analisis sidik jari juga sudah berembang sejak 1800an. Tahun 1880 Dr Henry Faulds melaporkan tentang sistem klasifikasi yang dibuatnya untuk mengidentifikasi seseorang. Tahun 1901 teknik yang disebut Daktiloskopi ini digunakan di Inggris, 1902 di Amerika digunakan di kalangan pegawai negeri, 1905 di Angkatan darat AS, dan sejak 1924 mulai dipakai oleh FBI. Tetapi semuanya adalah untuk menentukan identitas fisik seseorang. Misalnya, apakah benar sidik jari yang ditinggalkan pelaku di TKP (Tempat Kejadian Perkara) perampokan adalah milik si Fulan. Sebelum ditemukan system DNA, Daktiloskopi lah yang menjadi andalan Polisi.
Namun di kemudian hari, nampaknya teknik analisis Sidik Jari yang awalnya hanya untuk identifkasi fisik, berkembang menjadi teknik identifikasi psikis (kejiwaan) juga. Ilmuwan Inggris Sir Francis Galton yang masih sepupu Sir Charlis Darwin adalah penganut teori evolusi. Dia percaya bahwa kepribadian ditentukan oleh bakat-bakat yang dibawa sejak lahir dan bakat-bakat itu terukir di sidik jari srtiap orang. Maka ia menerbitkan buku “Finger prints” (1888) dan memperkenalkan klasifikasi sidik jari yang dihubungkan dengan klasifikasi kepribadian.
Pasca Galton, nampaknya Dermatoglyphs semakin berkembang dan diyakini sebagai ilmu pengetahuan yang sahih, lengkap dengan buku-buku dan jurnal-jurnal “ilmiah” mereka sendiri. Kalau kita cari di Google, dengan kata kunci Dermatoglyphs akan keluar lebih dari 70.000 informasi, tetapi semuanya di luar komunitas ilmu psikologi. Dengan demikian Dermatoglyphs sebenarnya adalah pseudo science (ilmu semu) dari psikologi.
Ilmu semu lain dalam psikologi yang banyak kita kenal adalah Astrologi (banyak di majalah-majalah wanita dan remaja, tetapi tidak pernah ada di Koran SINDO), Palmistri (ilmu rajah tangan, yang ketika saya mahasiswa sering saya pakai untuk merayu mahasiswi-mahasiswi Fakultas Sastra sambil meraba-raba tangannya), Numerologi (meramal atau menjodohkan orang dengan menggunakan angka-angka tanggal lahir dsb.), Tarrot (dengan menggunakan kartu-kartu) dan masih banyak lagi. Semua itu mengklaim diri sebagai ilmu, lengkap dengan literatur dan teknik masing-masing, dan memang nampaknya sahih dan canggih betul (ada yang putus dari pacar gara-gara bintangnya tidak cocok).
Tetapi ada satu hal yang tidak bisa dipenuhi oleh semua ilmu semu, yaitu tidak bisa diverifikasi teorinya. Dalam Astrologi, misalnya, tidak pernah bisa dibuktikan hubungan antara singa yang galak, dengan bintang Leo. Apalagi membuktikan manusia berbintang Leo dengan sifatnya yang galak (banyak juga cewek Leo yang jinak-jinak merpati, loh!).
Dalam hal ilmu Sidik Jari, sama saja. Tidak bisa diverifikasi bagaimana hububnannya antara sidik jari (bawaan) dengan sifat, minat, perilaku, apalagi jodoh dan karir, bahkan kesalehan seseorang yang merupakan hasil dari ratusan variable seperti faktor sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, lingkungan alam, dan sebagainya, walaupun juga termasuk sedikit faktor bawaan.
Pandangan bahwa kepribadian ditentukan oleh fator bawaan (nativisme) sudah lama ditinggalkan oleh Psikologi . Teori yang berlaku sekarang adalah bahwa kepribadian ditentukan oleh pengalaman yang diperoleh dari lingkungan. Karena itu untuk memeriksanya diperlukan proses yang panjang (metode psikodiagnostik, assessment) dan duit yang lumayan banyak.
Karena itu saya tidak pernah menyarankan orang untuk ikut psikotes kalau hanya untuk ingin tahu. Buang-buang duit. Tetapi lebih sia-sia lagi kalau buang duit untuk tes Sidik Jari.

2. Responses to Tes Sidik Jari (Cermati, sebelum Mengikuti)
Sekedar Berbagi :)
Beberapa waktu yang lalu ada tulisan dari Pak Prof di Koran Sindo tentang analisa tes sidik jari yang notabene menjadi rame juga, ada tulisan yang juga menarik mari kita simak :
Dalam Koran :
Maka saya pun browsing semua jurnal Psikologi (hampir seluruh dunia yang berbahasa Inggris) yang bisa diakses oleh mesin searcher dari Asosiasi Psikologi Amerika (APA) dimana saya menjadi salah satu anggotanya.Hasilnya menakjubkan, sekitar 40.000 tulisan yang mengandung kata “finger print”. Langsung saya cari judul-judul yang kira-kira terkait dengan sidik jari dalam hubungannya dengan bakat, kepribadian, atau kecerdasan anak. Hasilnya: NIHIL!
Tanggapan:
Tidak bisa menemukan di internet bukan berarti riset terkait itu tidak ada. Bisa jadi karena risetnya belum dipublikasikan (secara khusus pada provider jurnal tertentu), bisa jadi dipublikasikan tapi tidak dalam bahasa inggris, atau bisa jadi mencarinya di tempat yang salah.
Berikut beberapa riset yang berkaitan dengan finger print dan kecerdasan yang bisa ditemukan di internet.
Dalam bahasa Rusia:
Fingerprints Help Choosing Job
Fingerprints will help choose profession
Atau biar gampang, silahkan baca dari sini saja:
Dari Chinese Journal of Anatomy
Research on dermal ridge in students with high intelligence
Dan lain2nya yang juga mengaitkan fingerprint dengan kecerdasan
Jurnal yg bahas tentang kaitan pola sidik jari dan kecerdasan, dalam studi amatan kecerdasan musikal
Penting untuk diketahui bahwa dasar analisa sidik jari ini berasal terutama dari wilayah Asia, terutama Cina dan India. Sehingga amatlah wajar manakala penelitian dari wilayah tersebut tidak lantas bisa mudah ditemukan. Jika semisal saja ilmuwan barat mengatakan “Omong kosong herbal dan jamu bisa membuat sehat apalagi menyembuhkan penyakit. Sains belum (mampu) membuktikannya!” apakah lantas Anda memilih untuk percaya atau tidak percaya?
Saya katakan itu pilihan.
Biarlah mereka yg memilih mendasarkan keputusan mereka pada ‘riset’ untuk tetap seperti itu. Mereka mungkin butuh diyakinkan melalui hasil lab betapa kandungan kimiawi tertentu dari herbal dan jamu bereaksi pada bagian tubuh tertentu. Mereka mungkin juga menunggu adanya riset yg membuktikan betapa ada benang syaraf yg menghubungkan antara otak bagian tertentu di lokasi spesifik tertentu dengan jari tertentu. Bila ada ilmuwan yg mencoba mencari itu, good luck, you’re gonna need it :-)karena riset tentang sidik jari dan kecerdasan biasanya tidak dilakukan dengan cara membedah otak manusia, sebagaimana Anda bisa lihat dari tautan2 di atas. Bahkan teori multiple intelligence saja tidak muncul dari cara seperti itu.
Bila lantas ada yg memilih bersikeras untuk tidak bersepakat, ya ndak papa. Ketika orang memilih untuk tetap menggunakan jamu meskipun sains belum bisa membuktikan, ya ndak mengapa.
Saya pikir apa yang menjadikan analisa sidik jari jadi cemoohan beberapa pihak adalah sebagai berikut:
1. Harganya yang ampun ampun mahal. Coba deh, kalau murah apa masih dipermasalahkan :-)
2. Salah tangkap informasi dari sang pelanggan atau siapapun itu yang lantas ramai berkumandang.
3. Klaim yang sangat berlebihan dari pemasar, entah karena dia sendiri yang belum paham atau memang sengaja berbual.
Saya ingin bicara tentang klaim berlebihan.
Dalam Koran :
Luar biasa kalau test itu benar. Kalau seorang ibu sudah mengetahui seluruh “rahasia” kepribadian anaknya melalui sidik jari anak, maka dia tinggal ongkang-ongkang kaki dan dia hanya perlu mengatur anaknya sesuai dengan petunjuk hasil test Sidik Jari, dan anaknya akan menjadi orang yang pandai, jujur, kreatif, berbakti pada orangtua, beriman, bertakwa, saleh/salehah. Lebih senang lagi anggota Densus88. Tidak perlu berpayah-payah lagi mereka. Cukup dengan memeriksa sidik jari, mereka bisa mengidentifikasi pembom bunuh diri menangkapnya dan memasukkannya ke penjara.
Kalau apa yang disampaikan oleh Pak Prof tersebut memang benar2 dikatakan oleh pemasar produk sidik jari, apalagi sampai bilang fingerprint bisa baca tingkat kesholehan seseorang, mari kita tendang orang itu beramai-ramai. Biar ntar saya duluan.
Analisa sidik jari bukanlah ramalan! Analisa sidik jari tidaklah melakukan pembacaan atas masa depan seseorang. Justru yang disajikan oleh analisa sidik jari adalah bacaan dari bentukan masa lalu, yakni faktor genetis (nature) seseorang, sejak dia berada dalam kandungan. Hasil analisa sidik jari tidaklah menjadi jaminan sukses seseorang. Untuk bisa sukses, seseorang harus mengalami pengasuhan (nurture), pengondisian, dan penggemblengan diri yang baik. Apa yang lantas diberikan oleh analisa sidik jari adalah informasi yang bisa dijadikan dasar penggemblengan itu, di antara sekian sumber informasi yang lain.
Sehingga lebih tepatnya, analisa sidik jari merupakan metode “pembacaan”, yakni pembacaan potensi seseorang. Dari hasil bacaan kita bisa mengatakan semisal seperti ini: “Berdasarkan hasil bacaanmu yang menyatakan bahwa dirimu adalah pembelajar kinestetik, maka kamu akan berpotensi sukses manakala kamu belajar dengan cara mengalami dan berinteraksi, dst dst…” Kita tidaklah meramal masa depan yang bersangkutan, namun kita tunjukkan betapa potensi dia untuk sukses jadi amat besar secara signifikan manakala dia menggunakan informasi analisa potensi dia di saat ini untuk membangun masa depannya. Namun apakah dia bisa sukses? Ya belum tentu.
Analisa sidik jari bukanlah ramalan nasib. Analisa sidik jari melakukan identifikasi bakat genetis; namun untuk bisa sukses, faktornya sudah pasti bukan hanya dari bakat. Hasil analisa sidik jari tidak lantas menunjukkan betapa seseorang nanti bisa menjadi cerdas, jujur, berbakti pada kedua orang tuanya, bertaqwa, dan sholeh. Itu adalah klaim yang sangat keterlaluan.
Dan ini yang penting: hasil analisa sidik jari tidak dimaksudkan untuk melalaikan orang tua dari monitoring minat dan pengondisian lingkungan asuh. Orang tua tidak sebaiknya mendasarkan hasil analisa sidik jari sebagai satu-satunya acuan pengetahuan untuk memahami anak. Orang tua harus membuka hati dan perhatian; analisa sidik jari sekedar mengambil peran pembuka, untuk membantu orang tua bisa lebih memahami tipikal dan bakat anak-anaknya.
Untuk bakat yang anak kuat di sana, maka orang tua bisa mengkapitalkannya. Untuk bakat yang lemah, orang tua tidak perlu terlalu ngoyo di sana; karena selain amatlah susah dan mahal untuk menginvestasikan pengembangan kompetensi yang bukan bakat, si anak juga tidak akan berbahagia ketika dipaksa melakukan sesuatu atau bahkan menjadi ahli di bidang-bidang yang dia tidak punya atau miskin bakat di sana.
Berikut ini paling tidak manfaat realistis dari analisa sidik jari:
1. Membuat siswa merasa lebih percaya diri atas diri mereka sendiri dengan pengetahuan mereka tentang bakat terbesar dan potensi yang bisa digali dari sana.
2. Membuat mereka lebih menyukai diri mereka sendiri, muncul penghargaan, apresiasi, dan rasa syukur, yang ini bisa menumbuhkan rasa pede untuk berkembang secara mandiri, sehingga mereka menjadi lebih mampu untuk menggerakkan diri sendiri alih-alih menunggu arahan dari luar.
3. Membantu siswa untuk bisa lebih berani memilih, atau merasa mantap dengan pilihannya sendiri.
4. Membantu sang anak dalam memilih penjurusan yang sesuai dengan bakatnya. Meskipun minat sangatlah penting, rekomendasi yang didasarkan pada bakat membantu anak untuk bisa memilih jurusan yang betul-betul bisa membuatnya nyaman alih-alih memilih sekedar berdasarkan paksaan dan pengaruh orang lain yang tidak sesuai dengan batin dirinya.
Anda bisa lihat, di sana belum bicara tentang kondisi masa depan. Sama seperti THE SECRET yang dalam konsepnya mengharuskan kita untuk tidak sekedar menginginkan secara nyata, tapi juga bertindak secara nyata. Analisa sidik jari tidak lantas melingkupi aspek tindakan. Itu sudah ranah yang berbeda, ranahnya orang tua, guru, dan seterusnya.
Lha lantas kalau memang tidak bisa meramal sukses dan sekedar mengetahui aspek nature (bakat) dan tidaklah nurture (pola pembinaan dst), lantas buat apa membayar mahal-mahal?
Lha iya, emang ndak perlu mbayar mahal seharusnya. Kalau memang maksud dan manfaatnya baik, maka harusnya jangan dieksklusifkan sedemikian rupa. Anak-anak yang kurang beruntung (kurang mampu dsb) harus juga punya kesempatan untuk bisa lebih diberdayakan dari bacaan analisa sidik jari ini.
Bagaimana kaitan antara pembacaan bakat ini dengan minat?
Penting dipahami: analisa sidik jari hanya dimaksudkan untuk membaca bakat seseorang, yakni dia terlahir dengan kemampuan apa. Namun analisa ini TIDAK BISA membaca minat. Karena minat bukanlah bawaan dari lahir. Faktanya sidik jari sudah terbentuk sejak kita di dalam kandungan. Kalau ada yang ngaku bisa membaca minat dan pengasuhan dari sidik jari, kita tendang lagi aja orang itu.
Lantas bukankah untuk bisa sukses yang lebih penting itu minat daripada bakat?
Itu pendapat. Maka silahkan jika ada yang berpendapat semacam demikian. Yang jelas orang dan lembaga berikut tidak berpendapat demikian. Silahkan dibrowse kalau ada waktu.
* Doug Rath from Talent Plus, educational psychology expert.
* Dr. Joseph A. Michelli, best-selling business books author
* Marcus Buckingham, motivational speaker, trainer, public leader, researcher and author. Yang ini bukunya sudah diterbitkan di Indonesia.
* HRM Singapore
Prinsip mereka:
Prestasi = Bakat x Investasi
Bakat, bukan minat.
Silahkan lihat film ‘3 Idiots’ yang luar biasa itu. Film ini menggambarkan betapa pentingnya kita berkembang berdasarkan bakat-bakat terbesar kita dan untuk mengarahkan minat kita berdasarkan bakat tersebut. Bisakah kita menjadi apapun yang kita mau dengan mendasarkan minat dan mengabaikan bakat? BISA, tapi SUSAH dan TIDAK BAHAGIA. Faktanya, mereka yg hanya mendasarkan minat dengan bakat yg payah, dia tak akan bisa mencapai prestasi istimewa di atas rata-rata. Dan sekali lagi, dia tidak bahagia dalam menjalaninya.
Kita gunakan analisa sidik jari untuk membantu seseorang menemukan bakatnya. Dan di dalam bakatnya itu lah seseorang bisa merasakan nikmat karena meminatinya. Dan dari situ lah kemudian dia jadi pribadi yang lebih percaya diri dan juga lebih berbahagia atas pilihan-pilihannya.
Kalau memang tujuannya sekedar membaca bakat, berarti tidak harus dengan sidik jari dong?
Lha iya, memang tidak harus. Apapun yang baik ya harus diberdayakan untuk membuat kita bisa lebih memahami anak atau bahkan memahami diri kita sendiri. Dan apapun, itu semua tidak boleh membuat orang tua jadi berlepas tangan dan leha-leha. Analisa sidik jari dan analisa apapun deh dimaksudkan untuk membuat orang tua jadi lebih efektif dan efisien dalam mengasuh putra putrinya.
(Dikutif dari Berbagai Sumber terutama Internet).

Minggu, 09 Oktober 2011

Manfaat dan Kekuatan Dongeng pada Psikologi Anak

Pada zaman serba canggih seperti sekarang, kegiatan mendongeng di mata anak-anak tidak populer lagi. Sejak bangun hingga menjelang tidur, mereka dihadapkan pada televisi yang menyajikan beragam acara, mulai dari film kartun, kuis, hingga sinetron yang acapkali bukan tontonan yang pas untuk anak. Kalaupun mereka bosan dengan acara yang disajikan, mereka dapat pindah pada permainan lain seperti videogame. 
Kendati demikian, kegiatan mendongeng sebetulnya bisa memikat dan mendatangkan banyak manfaat, bukan hanya untuk anak-anak tetapi juga orang tua yang mendongeng untuk anaknya. Kegiatan ini dapat mempererat ikatan dan komunikasi yang terjalin antara orang tua dan anak. Para pakar menyatakan ada beberapa manfaat lain yang dapat digali dari kegiatan mendongeng ini. Pertama, anak dapat mengasah daya pikir dan imajinasinya. Hal yang belum tentu dapat terpenuhi bila anak hanya menonton dari televisi. Anak dapat membentuk visualisasinya sendiri dari cerita yang didengarkan. Ia dapat membayangkan seperti apa tokoh-tokoh maupun situasi yang muncul dari dongeng tersebut. Lama-kelamaan anak dapat melatih kreativitas dengan cara ini. Kedua, cerita atau dongeng merupakan media yang efektif untuk menanamkan berbagai nilai dan etika kepada anak, bahkan untuk menumbuhkan rasa empati. Misalnya nilai-nilai kejujuran, rendah hati, kesetiakawanan, kerja keras, maupun tentang berbagai kebiasaan sehari-hari seprti pentingnya makan sayur dan menggosok gigi. Anak juga diharapkan dapat lebih mudah menyerap berbagai nilai tersebut karena  di sini tidak bersikap memerintah atau menggurui, sebaliknya para tokoh cerita dalam dongeng tersebutlah yang diharapkan menjadi contoh atau teladan bagi anak. Ketiga, dongeng dapat menjadi langkah awal untuk menumbuhkan minat baca anak. 
Setelah tertarik pada berbagai dongeng yang diceritakan, anak diharapkan mulai menumbuhkan ketertarikannya pada buku. Diawali dengan buku-buku dongeng yang kerap didengarnya, kemudian meluas pada buku-buku lain seperti buku pengetahuan, sains, agama, dan sebagainya. Tidak ada batasan usia yang ketat mengenai kapan sebaiknya anak dapat mulai diberi dongeng oleh Kak agam. Untuk anak-anak usia prasekolah, dongeng dapat membantu mengembangkan kosa kata. Hanya saja cerita yang dipilihkan tentu saja yang sederhana dan kerap ditemui anak sehari-hari. Misalnya dongeng-dongeng tentang binatang. Sedangkan untuk anak-anak usia sekolah dasar dapat dipilihkan cerita yang mengandung teladan, nilai dan pesan moral serta problem solving. Harapannya nilai dan pesan tersebut kemudian dapat diterapkan anak dalam kehidupan sehari-hari. Keberhasilan suatu dongeng tidak saja ditentukan oleh daya rangsang imajinatifnya, tapi juga kesadaran dan kemampuan pendongeng untuk menyajikannya secara menarik.
Manfaat Dongeng untuk anak :
1. Mengasah daya pikir dan imajinasi
2. Menanamkan berbagi nilai dan etika
3. Menumbuhkan minat baca

Kekuatan Dongeng pada Anak
Kak Bimo, seorang pecinta anak-anak, guru, trainer, sekaligus pendongeng yang sangat fasih dan piawai. Di kotanya Yogyakarta penulis mengenalnya tak hanya lantaran kemampuannya menyihir anak-anak dengan dramatis, namun juga karena muatan pesan moral yang dalam serta komprehensif mampu diselipkan dengan sangat apik dan tak membebani. Anak-anak demikian terbius segenap perhatian dan pikirannya pada alur cerita sederhana namun enak diikuti selama dongeng berlangsung. Kemudian kita mungkin mengenal PM Toh, pendongeng asal Aceh yang selalu mementingkan interaksi serta suasana yang aman dan nyaman bagi anak-anak yang mendengarkannya. Selain itu tak asing bagi kita yakni Kusumo Priyono, maestro dongeng Indonesia yang berpendapat bahwa dalam mendongeng biasanya ada sesuatu yang ingin disampaikan, terutama moral dan budi pekerti. Selain itu, yang tak kalah penting adalah sarat nuansa hiburan bagi anak-anak (edukatif dan kreatif) sehingga anak merasa senang dan terhibur. Demikianlah, anak-anak memang sangat senang mendengarkan cerita atau dongeng. Terutama cerita yang dibacakan oleh orang tua atau orang dewasa.

Menimbang Manfaat Dongeng
Tak bisa disangkal bahwa dongeng memang memiliki daya tarik tersendiri. Di sebagian sisi, terjadi suatu fenomena klise, bahwa anak-anak sebelum tidur kerap minta mendengar dongeng yang dikisahkan oleh ibu, nenek, atau orang dewasa yang berusaha menidurkannya. Meski bisa saja ditafsirkan bahwa dongeng tak selamanya menyenangkan, namun kenyataannya memang dongeng mudah membuat anak tertidur, disamping dongeng disetujui sebagai aktifitas rileks memang memiliki potensi konstruktif untuk mendukung pertumbuhkembangan mental anak. Bercerita atau mendongeng dalam bahasa Inggris disebut storytelling, memiliki banyak manfaat. Manfaat tersebut diantaranya adalah mampu mengembangkan daya pikir dan imajinasi anak, mengembangkan kemampuan berbicara anak, mengembangkan daya sosialisasi anak dan yang terutama adalah sarana komunikasi anak dengan orang tuanya. (Media Indonesia, 2006). Kalangan ahli psikologi menyarankan agar orangtua membiasakan mendongeng untuk mengurangi pengaruh buruk alat permainan modern. Hal itu dipentingkan mengingat interaksi langsung antara anak balita dengan orangtuanya dengan mendongeng sangat berpengaruh dalam membentuk karakter anak menjelang dewasa.
Selain itu, dari berbagai cara untuk mendidik anak, dongeng merupakan cara yang tak kalah ampuh dan efektif untuk memberikan human touch atau sentuhan manusiawi dan sportifitas bagi anak. Melalui dongeng pula jelajah cakrawala pemikiran anak akan menjadi lebih baik, lebih kritis, dan cerdas. Anak juga bisa memahami hal mana yang perlu ditiru dan yang tidak boleh ditiru. Hal ini akan membantu mereka dalam mengidentifikasikan diri dengan lingkungan sekitar disamping memudahkan mereka menilai dan memposisikan diri di tengah-tengah orang lain. Sebaliknya, anak yang kurang imajinasi bisa berakibat pada pergaulan yang kurang, sulit bersosialisasi atau beradaptasi dengan lingkungan yang baru.

Namun terlepas dari setumpuk teori manfaat tersebut, rasanya kita tetap harus berhati-hati. Karena jika kita kurang teliti, cukup banyak dongeng mengandung kisah yang justru rawan menjadi teladan buruk bagi anak-anak. Sebut saja dongeng rakyat tentang Sangkuriang yang secara eksplisit mengisahkan bahwa ibu kandung Sang-kuriang gara-gara bersumpah akan menjadi istri pihak yang mengambil peralatan tenun yang jatuh terpaksa menikah dengan seekor anjing. Tak cukup itu kondisi diperparah oleh kisah bahwa setelah membunuh sang anjing yang notabene adalah ayah kandungnya sendiri Sangkuriang sempat jatuh cinta dalam makna asmara kepada Dayang Sumbi, ibu kandungnya sendiri. Belum terhitung kelicikan Dayang Sumbi membangunkan ayam jago agar berkokok sebelum saat fajar benar-benar tiba, demi mengecoh Sangkuriang agar menduga dirinya gagal memenuhi permintaan Dayang Sumbi yakni merampungkan pembuatan perahu dalam satu malam saja. Karena muatan-muatan pada cerita dongeng harus dipertimbangkan dengan kondisi psikologi yang mungkin deserap oleh sang anak, jangan sampai terjadi kesalahan pemahaman dari dongeng yang dimaksudkan positif malah menjadi negatif...  http://www.dongengkakrico.com

Senin, 26 September 2011

"Empat Faktor Penyebab Anak Berperilaku Agresif" oleh Muhammad Isnaini

1. Faktor Biologis
Emosi dan perilaku dapat dipengaruhi oleh faktor genetic, neurologist atau faktor biokimia, juga kombinasi dari faktor ketiganya. yang jelas, ada hubungan antara tubuh dan perilaku, sehingga sangat beralasan untuk mencari penyebab biologis dari gangguan perilaku atau emosional. misalnya, ketergantungan ibu pada alcohol ketika janin masih dalam kandungan dapat menyebAnak berkebutuhan khususan berbagai gangguan termasuk emosi dan perilaku. Ayah yang peminum alkohol menurut penelitaian juga beresiko tinggi menimbulkan perilaku agresif pada anak. Perilaku agresif dapat juga muncul pada anak yang orang tuanya penderita psikopat (gangguan kejiwaan). Semua anak sebenarnya lahir dengan keadaan biologis tertentu yang menentukan gaya tingkah laku atau temperamennya, meskipun temperamen dapat berubah sesuai pengasuhan. Selain itu, penyakit kurang gizi, bahkan cedera otak, dapat menjadi penyebab timbulnya gangguan emosi atau tingkah laku.
2. Faktor Keluarga
Faktor keluarga yang dapat menyebAnak berkebutuhan khususan perilaku agresif dapat diidentifikasikan seperti berikut. pertama, Pola asuh orang tua yang menerapkan disiplin dengan tidak konsisiten. Misalnya orang tua sering mengancam anak jika anak berani melakukan hal yang menyimpang. Tetapi ketika perilaku tersebut benar-benar dilakukan anak hukuman tersebut kadang diberikan kadang tidak, membuat anak bingung karena tidak ada standar yang jelas. hal ini memicu perilaku agresif pada anak. Ketidakonsistenan penerapan disiplin jika juga terjadi bila ada pertentangan pola asuh antara kedua orang tua, misalnya si Ibu kurang disiplin dan mudah melupakan perilaku anak yang menyimpang, sedang si ayah ingin memberikan hukuman yang keras. Kedua, Sikap permisif orang tua, yang biasanya berawal dari sikap orang tua yang merasa tidak dapat efektif untuk menghentikan perilaku menyimpang anaknya, sehingga cenderung membiarkan saja atau tidak mau tahu. Sikap permisif ini membuat perilaku agresif cenderung menetap. Ketiga, Sikap yang keras dan penuh tuntutan, yaitu orang tua yang terbiasa menggunakan gaya instruksi agar anak melakukan atau tidak melakukan sesuatu, jarang memberikan kesempatan pada anak untuk berdiskusi atau berbicara akrab dalam suasana kekeluargaan. Dalam hal ini muncul hukum aksi-reaksi, semakin anak dituntut orang tua, semakin tinggi keinginan anak untuk memberontak dengan perilaku agresif. Gagal memberikan hukuman yang tepat, sehingga hukuman justru menimbulkan sikap permusuhan anak pada orang tua dan meningkatkan sikap perilaku agresif anak. Memberi hadiah pada perilaku agresif atau memberikan hukuman untuk perilaku prososial. 
3. Faktor Sekolah
Beberapa anak dapat mengalami masalah emosi atau perilaku sebelum mereka mulai masuk sekolah, sedangkan beberapa anak yang lainnya tampak mulai menunjukkan perilaku agresif ketika mulai bersekolah. Faktor sekolah yang berpengaruh antara lain: 1) teman sebaya, lingkungan sosial sekolah, 2) para guru, dan 3) disiplin sekolah. Pengalaman bersekolah dan lingkungannya memiliki peranan penting dalam pembentukan perilaku agresif anak demikian juga temperamen teman sebaya dan kompetensi sosial,Guru-guru di sekolah sangat berperan dalam munculnya masalah emosi dan perilaku itu. Perilaku agresifitas guru dapat dijadikan model oleh anak dan disiplin sekolah yang sangat kaku atau sangat longgar di lingkungan sekolah akan sangat membingungkan anak yang masih membutuhkan panduan untuk berperilaku. Lingkungan sekolah dianggap oleh anak sebagai lingkungan yang memperhatikan dirinya. Bentuk pehatian itu dapat berupa hukuman, kritikan ataupun sanjungan.
4. Faktor Budaya
Pengaruh budaya yang negatif mempengaruhi pikiran melalui penayangan kekerasan yang ditampilkan di media, terutama televisi dan film. Menurut Bandura (dalam Masykouri, 2005: 12.10) mengungkapkan beberapa akibat penayangan kekerasan di media, sebagai berikut. Pertama, Mengajari anak dengan tipe perilaku agresif dan ide umum bahwa segala masalah dapat diatasi dengan perilaku agresif. Kedua, Anda menyaksikan bahwa kekerasan bisa mematahkan rintangan terhadap kekerasan dan perilaku agresif, sehingga perilaku agresif tampak lumrah dan bisa diterima. Ketiga, Menjadi tidak sensitif dan terbiasa dengan kekerasan dan penderitaan (menumpulkan empati dan kepekaan sosial). dan Keempat, Membentuk citra manusia tentang kenyataan dan cenderung menganggap dunia sebagai tempat yang tidak aman untuk hidup.
Akibat sering nonton salah satu kartun, dan film robot di beberapa stasiun TV, anak cenderung meniru tokoh tersebut dan selain itu juga meniru perilaku saudara sepupu teman sepermainannya. Terkadang orang tua melarang putra – putrinya untuk menonton film – film kartun dan film robot tersebut tentunya dengan memberikan penjelasan, tetapi belum membuahkan hasil yang maksimal.
Selain itu, faktor teman sebaya juga merupakan sumber yang paling mempengaruhi anak. Ini merupakan faktor yang paling mungkin terjadi ketika perilaku agresif dilakukan secara berkelompok. Ada teman yang mempengaruhi mereka agar melakukan tindakan-tindakan agresif terhadap anak lain. Biasanya ada ketua kelompok yang dianggap sebagai anak yang jagoan, sehingga perkataan dan kemauanya selalu diikuti oleh temannya yang lain. Faktor-faktor Penyebab Anak Berperilaku Agresif di atas sangat kompleks dan saling mempengaruhi satu sama lain.