Minggu, 01 Januari 2012

TES SIDIK JARI (CERMATI, SEBELUM MENGIKUTI)

Sebagai seorang pendidik di sebuah sekolah, banyak lembaga yang menawarkan berbagai program untuk mengetahui potensi, karakter, sampai bakat dan cara belajar anak dengan instan. Salah satunya dengan Tes Sidik Jari atau Finger Printing. Jujur, saya pribadi Ragu. Mungkinkah kita bisa mengetahui hal di atas secepat itu, hanya dengan mencetak hasil scan sidik jari anak, sedang saya saja harus membaca bertumpuk-tumpuk buku, mengikuti berbagai pelatihan, dan observasi langsung untuk dapat mengetahui potensi dan karakter seorang anak serta bagaimana cara menghadapinya. Alhamdulillah, setelah searching2, ketemu juga artikel ini, yang ditulis oleh pakarnya. Selamat membaca, semoga bermanfaat…
SIDIK JARI
Sarlito Wirawan Sarwono
Setelah kasus Otak Tengah, yang akhir-akhir ini sering ditanyakan kepada saya adalah tentang Test Sidik Jari untuk mengetahui kepribadian anak. Saya sendiri yang sudah 43 tahun malang-melintang di dunia psikologi, belum pernah tahu sebelumnya tentang keberadaan test tersebut dan tidak mau ambil pusing. Paling-paling penipuan lagi, pikir saya.
Tetapi beberapa hari yang lalu, anak saya yang kebetulan juga psikolog, berceritera kepada saya bahwa dia diajak temannya (baca: dikejar-kejar) temannya untuk bergabung dengan usaha dia dalam usaha test Sidik Jari. Lumayan, kata temannya itu. Captive market-nya ibu-ibu yang punya anak kecil, dan sekolah-sekolah, dan biayanya Rp 500.000,-per anak.
Sebagai psikolog professional anak saya meragukan validitas dan reliabilitas (keabsahan dan kesahihan) test itu. Apalagi dengan job dan statusnya yang sudah mapan dan gajinya yang sudah berlipat-lipat di atas UMR, dia tidak mau ambil risiko, karena itu ia minta pendapat saya.
Saya langsung saja menyatakan bahwa saya pun tidak percaya, tetapi saya penasaran. Maka saya pun browsing semua jurnal Psikologi (hampir seluruh dunia yang berbahasa Inggris) yang bisa diakses oleh mesin searcher dari Asosiasi Psikologi Amerika (APA) dimana saya menjadi salah satu anggotanya.
Hasilnya menakjubkan, sekitar 40.000 tulisan yang mengandung kata “finger print”. Langsung saya cari judul-judul yang kira-kira terkait dengan sidik jari dalam hubungannya dengan bakat, kepribadian, atau kecerdasan anak. Hasilnya: NIHIL!
Sedangkan kalau saya gunakan kata kunci Dermatoglyphic (Dermato artinya kulit, Glyphs artinya ukiran, jadi kulit yang berukiran) ada satu keluaran, yaitu tulisan berjudul “Neurodevelopmental Interactions Conferring Risk for Schizophrenia: A Study of Dermatoglyphic Markers in Patients and Relatives”, oleh
Avila, Matthew T.; Sherr, Jay; Valentine, Leanne E.; Blaxton, Teresa A.; Thaker, Gunvant K. dalam Schizophrenia Bulletin, Vol 29(3), 2003, halaman 595-605. Jadi tulisan yang satu ini pun hanya tentang hubungan antara gejala sakit jiwa skhizoprenia (yang dipercaya merupakan penyakit turunan) dengan pola sidik jari (yang juga merupakan bawaan),
Sebaliknya, dari Google saya mendapat banyak sekali keluaran setelah memasukkan kata kunci “sidik jari”. Bahkan ada website-nya sendiri. Hampir semuanya berceritera tentang ke-ilmiahan metode analisis kepribadian dengan test Sidik Jari ini. Bahkan ada iklan promo yang menawarkan test Sidik jari “hanya” untuk Rp 375.000 per anak. Sisanya adalah testimoni dari orang-orang yang pernah mencoba test yang katanya pelaksanaannya sangat mudah. Sedangkan salah satu kalimat promosi mereka adalah bahwa “Analisa sidik jari memiliki tingkat akurasi lebih tinggi daripada metode pengukuran lain. Klaim akurasi 87%”.
Luar biasa kalau test itu benar. Kalau seorang ibu sudah mengetahui seluruh “rahasia” kepribadian anaknya melalui sidik jari anak, maka dia tinggal ongkang-ongkang kaki dan dia hanya perlu mengatur anaknya sesuai dengan petunjuk hasil test Sidik Jari, dan anaknya akan menjadi orang yang pandai, jujur, kreatif, berbakti pada orangtua, beriman, bertakwa, saleh/salehah. Lebih senang lagi anggota Densus88. Tidak perlu berpayah-payah lagi mereka. Cukup dengan memeriksa sidik jari, mereka bisa mengidentifikasi pembom bunuh diri menangkapnya dan memasukkannya ke penjara.
Tetapi faktanya kan tidak seperti itu. Upaya manusia untuk mempelajari jiwa sudah berawal sejak zaman Socrates, 400 thn sebelum Masehi, dan melalui perjalanan sejarah yang panjang sekali, serta mendapat masukan dari berbagai ilmu, termasuk ilmu faal dan kedokteran, serta matematika, Wilhelm Wundt baru menyatakan Psikologi sebagai Ilmu yang mandiri pada tahun 1879 di Leipzig, Jerman (versi Amerika oleh William James, di sekitar tahun yang sama di Universitas Harvard).
Pasca kelahirannya, Psikologi berkembang terus, termasuk mengupayakan berbagai teknik dan metode untuk mengukur berbagai aspek kepribadian, termasuk test IQ, minat, sikap, bakat, emosi dan seterusnya. Kemajuannya sangat langkah-demi-langkah, tidak ada yang langsung meloncat, dan sebagaimana ilmu pengetahuan lainnya, setiap kemajuan, temuan atau kritik selalu dilaporkan dalam jurnal-jurnal dan seminar-seminar psikologi seluruh dunia. Karena itulah maka langkah pertama saya adalah mengecek jurnal ilmiah Psikologi untuk memastikan apakah test Sidik Jari ini termasuk metode yang diakui dalam Psikologi atau tidak.
Di sisi lain, teknik analisis sidik jari juga sudah berembang sejak 1800an. Tahun 1880 Dr Henry Faulds melaporkan tentang sistem klasifikasi yang dibuatnya untuk mengidentifikasi seseorang. Tahun 1901 teknik yang disebut Daktiloskopi ini digunakan di Inggris, 1902 di Amerika digunakan di kalangan pegawai negeri, 1905 di Angkatan darat AS, dan sejak 1924 mulai dipakai oleh FBI. Tetapi semuanya adalah untuk menentukan identitas fisik seseorang. Misalnya, apakah benar sidik jari yang ditinggalkan pelaku di TKP (Tempat Kejadian Perkara) perampokan adalah milik si Fulan. Sebelum ditemukan system DNA, Daktiloskopi lah yang menjadi andalan Polisi.
Namun di kemudian hari, nampaknya teknik analisis Sidik Jari yang awalnya hanya untuk identifkasi fisik, berkembang menjadi teknik identifikasi psikis (kejiwaan) juga. Ilmuwan Inggris Sir Francis Galton yang masih sepupu Sir Charlis Darwin adalah penganut teori evolusi. Dia percaya bahwa kepribadian ditentukan oleh bakat-bakat yang dibawa sejak lahir dan bakat-bakat itu terukir di sidik jari srtiap orang. Maka ia menerbitkan buku “Finger prints” (1888) dan memperkenalkan klasifikasi sidik jari yang dihubungkan dengan klasifikasi kepribadian.
Pasca Galton, nampaknya Dermatoglyphs semakin berkembang dan diyakini sebagai ilmu pengetahuan yang sahih, lengkap dengan buku-buku dan jurnal-jurnal “ilmiah” mereka sendiri. Kalau kita cari di Google, dengan kata kunci Dermatoglyphs akan keluar lebih dari 70.000 informasi, tetapi semuanya di luar komunitas ilmu psikologi. Dengan demikian Dermatoglyphs sebenarnya adalah pseudo science (ilmu semu) dari psikologi.
Ilmu semu lain dalam psikologi yang banyak kita kenal adalah Astrologi (banyak di majalah-majalah wanita dan remaja, tetapi tidak pernah ada di Koran SINDO), Palmistri (ilmu rajah tangan, yang ketika saya mahasiswa sering saya pakai untuk merayu mahasiswi-mahasiswi Fakultas Sastra sambil meraba-raba tangannya), Numerologi (meramal atau menjodohkan orang dengan menggunakan angka-angka tanggal lahir dsb.), Tarrot (dengan menggunakan kartu-kartu) dan masih banyak lagi. Semua itu mengklaim diri sebagai ilmu, lengkap dengan literatur dan teknik masing-masing, dan memang nampaknya sahih dan canggih betul (ada yang putus dari pacar gara-gara bintangnya tidak cocok).
Tetapi ada satu hal yang tidak bisa dipenuhi oleh semua ilmu semu, yaitu tidak bisa diverifikasi teorinya. Dalam Astrologi, misalnya, tidak pernah bisa dibuktikan hubungan antara singa yang galak, dengan bintang Leo. Apalagi membuktikan manusia berbintang Leo dengan sifatnya yang galak (banyak juga cewek Leo yang jinak-jinak merpati, loh!).
Dalam hal ilmu Sidik Jari, sama saja. Tidak bisa diverifikasi bagaimana hububnannya antara sidik jari (bawaan) dengan sifat, minat, perilaku, apalagi jodoh dan karir, bahkan kesalehan seseorang yang merupakan hasil dari ratusan variable seperti faktor sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, lingkungan alam, dan sebagainya, walaupun juga termasuk sedikit faktor bawaan.
Pandangan bahwa kepribadian ditentukan oleh fator bawaan (nativisme) sudah lama ditinggalkan oleh Psikologi . Teori yang berlaku sekarang adalah bahwa kepribadian ditentukan oleh pengalaman yang diperoleh dari lingkungan. Karena itu untuk memeriksanya diperlukan proses yang panjang (metode psikodiagnostik, assessment) dan duit yang lumayan banyak.
Karena itu saya tidak pernah menyarankan orang untuk ikut psikotes kalau hanya untuk ingin tahu. Buang-buang duit. Tetapi lebih sia-sia lagi kalau buang duit untuk tes Sidik Jari.

2. Responses to Tes Sidik Jari (Cermati, sebelum Mengikuti)
Sekedar Berbagi :)
Beberapa waktu yang lalu ada tulisan dari Pak Prof di Koran Sindo tentang analisa tes sidik jari yang notabene menjadi rame juga, ada tulisan yang juga menarik mari kita simak :
Dalam Koran :
Maka saya pun browsing semua jurnal Psikologi (hampir seluruh dunia yang berbahasa Inggris) yang bisa diakses oleh mesin searcher dari Asosiasi Psikologi Amerika (APA) dimana saya menjadi salah satu anggotanya.Hasilnya menakjubkan, sekitar 40.000 tulisan yang mengandung kata “finger print”. Langsung saya cari judul-judul yang kira-kira terkait dengan sidik jari dalam hubungannya dengan bakat, kepribadian, atau kecerdasan anak. Hasilnya: NIHIL!
Tanggapan:
Tidak bisa menemukan di internet bukan berarti riset terkait itu tidak ada. Bisa jadi karena risetnya belum dipublikasikan (secara khusus pada provider jurnal tertentu), bisa jadi dipublikasikan tapi tidak dalam bahasa inggris, atau bisa jadi mencarinya di tempat yang salah.
Berikut beberapa riset yang berkaitan dengan finger print dan kecerdasan yang bisa ditemukan di internet.
Dalam bahasa Rusia:
Fingerprints Help Choosing Job
Fingerprints will help choose profession
Atau biar gampang, silahkan baca dari sini saja:
Dari Chinese Journal of Anatomy
Research on dermal ridge in students with high intelligence
Dan lain2nya yang juga mengaitkan fingerprint dengan kecerdasan
Jurnal yg bahas tentang kaitan pola sidik jari dan kecerdasan, dalam studi amatan kecerdasan musikal
Penting untuk diketahui bahwa dasar analisa sidik jari ini berasal terutama dari wilayah Asia, terutama Cina dan India. Sehingga amatlah wajar manakala penelitian dari wilayah tersebut tidak lantas bisa mudah ditemukan. Jika semisal saja ilmuwan barat mengatakan “Omong kosong herbal dan jamu bisa membuat sehat apalagi menyembuhkan penyakit. Sains belum (mampu) membuktikannya!” apakah lantas Anda memilih untuk percaya atau tidak percaya?
Saya katakan itu pilihan.
Biarlah mereka yg memilih mendasarkan keputusan mereka pada ‘riset’ untuk tetap seperti itu. Mereka mungkin butuh diyakinkan melalui hasil lab betapa kandungan kimiawi tertentu dari herbal dan jamu bereaksi pada bagian tubuh tertentu. Mereka mungkin juga menunggu adanya riset yg membuktikan betapa ada benang syaraf yg menghubungkan antara otak bagian tertentu di lokasi spesifik tertentu dengan jari tertentu. Bila ada ilmuwan yg mencoba mencari itu, good luck, you’re gonna need it :-)karena riset tentang sidik jari dan kecerdasan biasanya tidak dilakukan dengan cara membedah otak manusia, sebagaimana Anda bisa lihat dari tautan2 di atas. Bahkan teori multiple intelligence saja tidak muncul dari cara seperti itu.
Bila lantas ada yg memilih bersikeras untuk tidak bersepakat, ya ndak papa. Ketika orang memilih untuk tetap menggunakan jamu meskipun sains belum bisa membuktikan, ya ndak mengapa.
Saya pikir apa yang menjadikan analisa sidik jari jadi cemoohan beberapa pihak adalah sebagai berikut:
1. Harganya yang ampun ampun mahal. Coba deh, kalau murah apa masih dipermasalahkan :-)
2. Salah tangkap informasi dari sang pelanggan atau siapapun itu yang lantas ramai berkumandang.
3. Klaim yang sangat berlebihan dari pemasar, entah karena dia sendiri yang belum paham atau memang sengaja berbual.
Saya ingin bicara tentang klaim berlebihan.
Dalam Koran :
Luar biasa kalau test itu benar. Kalau seorang ibu sudah mengetahui seluruh “rahasia” kepribadian anaknya melalui sidik jari anak, maka dia tinggal ongkang-ongkang kaki dan dia hanya perlu mengatur anaknya sesuai dengan petunjuk hasil test Sidik Jari, dan anaknya akan menjadi orang yang pandai, jujur, kreatif, berbakti pada orangtua, beriman, bertakwa, saleh/salehah. Lebih senang lagi anggota Densus88. Tidak perlu berpayah-payah lagi mereka. Cukup dengan memeriksa sidik jari, mereka bisa mengidentifikasi pembom bunuh diri menangkapnya dan memasukkannya ke penjara.
Kalau apa yang disampaikan oleh Pak Prof tersebut memang benar2 dikatakan oleh pemasar produk sidik jari, apalagi sampai bilang fingerprint bisa baca tingkat kesholehan seseorang, mari kita tendang orang itu beramai-ramai. Biar ntar saya duluan.
Analisa sidik jari bukanlah ramalan! Analisa sidik jari tidaklah melakukan pembacaan atas masa depan seseorang. Justru yang disajikan oleh analisa sidik jari adalah bacaan dari bentukan masa lalu, yakni faktor genetis (nature) seseorang, sejak dia berada dalam kandungan. Hasil analisa sidik jari tidaklah menjadi jaminan sukses seseorang. Untuk bisa sukses, seseorang harus mengalami pengasuhan (nurture), pengondisian, dan penggemblengan diri yang baik. Apa yang lantas diberikan oleh analisa sidik jari adalah informasi yang bisa dijadikan dasar penggemblengan itu, di antara sekian sumber informasi yang lain.
Sehingga lebih tepatnya, analisa sidik jari merupakan metode “pembacaan”, yakni pembacaan potensi seseorang. Dari hasil bacaan kita bisa mengatakan semisal seperti ini: “Berdasarkan hasil bacaanmu yang menyatakan bahwa dirimu adalah pembelajar kinestetik, maka kamu akan berpotensi sukses manakala kamu belajar dengan cara mengalami dan berinteraksi, dst dst…” Kita tidaklah meramal masa depan yang bersangkutan, namun kita tunjukkan betapa potensi dia untuk sukses jadi amat besar secara signifikan manakala dia menggunakan informasi analisa potensi dia di saat ini untuk membangun masa depannya. Namun apakah dia bisa sukses? Ya belum tentu.
Analisa sidik jari bukanlah ramalan nasib. Analisa sidik jari melakukan identifikasi bakat genetis; namun untuk bisa sukses, faktornya sudah pasti bukan hanya dari bakat. Hasil analisa sidik jari tidak lantas menunjukkan betapa seseorang nanti bisa menjadi cerdas, jujur, berbakti pada kedua orang tuanya, bertaqwa, dan sholeh. Itu adalah klaim yang sangat keterlaluan.
Dan ini yang penting: hasil analisa sidik jari tidak dimaksudkan untuk melalaikan orang tua dari monitoring minat dan pengondisian lingkungan asuh. Orang tua tidak sebaiknya mendasarkan hasil analisa sidik jari sebagai satu-satunya acuan pengetahuan untuk memahami anak. Orang tua harus membuka hati dan perhatian; analisa sidik jari sekedar mengambil peran pembuka, untuk membantu orang tua bisa lebih memahami tipikal dan bakat anak-anaknya.
Untuk bakat yang anak kuat di sana, maka orang tua bisa mengkapitalkannya. Untuk bakat yang lemah, orang tua tidak perlu terlalu ngoyo di sana; karena selain amatlah susah dan mahal untuk menginvestasikan pengembangan kompetensi yang bukan bakat, si anak juga tidak akan berbahagia ketika dipaksa melakukan sesuatu atau bahkan menjadi ahli di bidang-bidang yang dia tidak punya atau miskin bakat di sana.
Berikut ini paling tidak manfaat realistis dari analisa sidik jari:
1. Membuat siswa merasa lebih percaya diri atas diri mereka sendiri dengan pengetahuan mereka tentang bakat terbesar dan potensi yang bisa digali dari sana.
2. Membuat mereka lebih menyukai diri mereka sendiri, muncul penghargaan, apresiasi, dan rasa syukur, yang ini bisa menumbuhkan rasa pede untuk berkembang secara mandiri, sehingga mereka menjadi lebih mampu untuk menggerakkan diri sendiri alih-alih menunggu arahan dari luar.
3. Membantu siswa untuk bisa lebih berani memilih, atau merasa mantap dengan pilihannya sendiri.
4. Membantu sang anak dalam memilih penjurusan yang sesuai dengan bakatnya. Meskipun minat sangatlah penting, rekomendasi yang didasarkan pada bakat membantu anak untuk bisa memilih jurusan yang betul-betul bisa membuatnya nyaman alih-alih memilih sekedar berdasarkan paksaan dan pengaruh orang lain yang tidak sesuai dengan batin dirinya.
Anda bisa lihat, di sana belum bicara tentang kondisi masa depan. Sama seperti THE SECRET yang dalam konsepnya mengharuskan kita untuk tidak sekedar menginginkan secara nyata, tapi juga bertindak secara nyata. Analisa sidik jari tidak lantas melingkupi aspek tindakan. Itu sudah ranah yang berbeda, ranahnya orang tua, guru, dan seterusnya.
Lha lantas kalau memang tidak bisa meramal sukses dan sekedar mengetahui aspek nature (bakat) dan tidaklah nurture (pola pembinaan dst), lantas buat apa membayar mahal-mahal?
Lha iya, emang ndak perlu mbayar mahal seharusnya. Kalau memang maksud dan manfaatnya baik, maka harusnya jangan dieksklusifkan sedemikian rupa. Anak-anak yang kurang beruntung (kurang mampu dsb) harus juga punya kesempatan untuk bisa lebih diberdayakan dari bacaan analisa sidik jari ini.
Bagaimana kaitan antara pembacaan bakat ini dengan minat?
Penting dipahami: analisa sidik jari hanya dimaksudkan untuk membaca bakat seseorang, yakni dia terlahir dengan kemampuan apa. Namun analisa ini TIDAK BISA membaca minat. Karena minat bukanlah bawaan dari lahir. Faktanya sidik jari sudah terbentuk sejak kita di dalam kandungan. Kalau ada yang ngaku bisa membaca minat dan pengasuhan dari sidik jari, kita tendang lagi aja orang itu.
Lantas bukankah untuk bisa sukses yang lebih penting itu minat daripada bakat?
Itu pendapat. Maka silahkan jika ada yang berpendapat semacam demikian. Yang jelas orang dan lembaga berikut tidak berpendapat demikian. Silahkan dibrowse kalau ada waktu.
* Doug Rath from Talent Plus, educational psychology expert.
* Dr. Joseph A. Michelli, best-selling business books author
* Marcus Buckingham, motivational speaker, trainer, public leader, researcher and author. Yang ini bukunya sudah diterbitkan di Indonesia.
* HRM Singapore
Prinsip mereka:
Prestasi = Bakat x Investasi
Bakat, bukan minat.
Silahkan lihat film ‘3 Idiots’ yang luar biasa itu. Film ini menggambarkan betapa pentingnya kita berkembang berdasarkan bakat-bakat terbesar kita dan untuk mengarahkan minat kita berdasarkan bakat tersebut. Bisakah kita menjadi apapun yang kita mau dengan mendasarkan minat dan mengabaikan bakat? BISA, tapi SUSAH dan TIDAK BAHAGIA. Faktanya, mereka yg hanya mendasarkan minat dengan bakat yg payah, dia tak akan bisa mencapai prestasi istimewa di atas rata-rata. Dan sekali lagi, dia tidak bahagia dalam menjalaninya.
Kita gunakan analisa sidik jari untuk membantu seseorang menemukan bakatnya. Dan di dalam bakatnya itu lah seseorang bisa merasakan nikmat karena meminatinya. Dan dari situ lah kemudian dia jadi pribadi yang lebih percaya diri dan juga lebih berbahagia atas pilihan-pilihannya.
Kalau memang tujuannya sekedar membaca bakat, berarti tidak harus dengan sidik jari dong?
Lha iya, memang tidak harus. Apapun yang baik ya harus diberdayakan untuk membuat kita bisa lebih memahami anak atau bahkan memahami diri kita sendiri. Dan apapun, itu semua tidak boleh membuat orang tua jadi berlepas tangan dan leha-leha. Analisa sidik jari dan analisa apapun deh dimaksudkan untuk membuat orang tua jadi lebih efektif dan efisien dalam mengasuh putra putrinya.
(Dikutif dari Berbagai Sumber terutama Internet).